Sultan Alauddin Ri'ayat Syah
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sultan
Alauddin Ri’ayat
Syah (nama lengkap: Sultan Alauddin Ri’ayat
Syah Sayyid al-Mukammil; meninggal tahun 1605) adalah sultan Kesultanan Aceh yang
ke-10, yang berkuasa antara tahun 1596/1589–1604.[1] Era
pemerintahannya menjadi salah satu era penting dalam sejarah di wilayah Asia Tenggara karena
pada masa itu untuk pertama kalinya wilayah perairan Selat Malaka kedatangan
tiga kekuatan asing dari Eropa: Belanda, Inggris dan Perancis.
Naik Takhta
Sultan Alauddin dilaporkan adalah keturunan para raja tua
yang mengatur kesultanan Aceh pada abad kelima belas. Ayahnya adalah Al-Malik
Firman Syah, putra Muzaffar Syah (meninggal tahun 1497).
Pertemuan silsilah ini sepertinya telah terhalang sepenuhnya tertutup oleh
garis keturunan dari Sultan Ali
Mughayat Syah. Di masa mudanya dia hanya seorang rakyat biasa yang
berprofesi sebagai seorang nelayan, tetapi ia mampu mencapai posisi elit di
kesultanan berkat keberanian dan keahliannya dibidang militer sehingga dia
terpilih menjadi seorang komandan militer. Dia diduga membunuh Sultan
Alauddin Mansur Syah pada tahun 1585-1586.
Menurut dugaan tersebut dia membunuh Sultan sebagai tindakan guna melindungi
cucu muda sultan Raja Asyem. Kemudian dia juga diduga bertanggung jawab atas pembunuhan Sultan
Buyung tahun 1589. Setelah menduduki
takhta dia juga dianggap telah membunuh Raja Asyem yang dianggapnya kelak akan
menjadi saingan utama bagi kedudukannya sebagai sultan. Namun semua dugaan itu
tidak pernah bisa dibuktikan secara jelas.[2] Dengan alasan pembunuhan itulah
dia memicu permusuhan dengan Kesultanan Johor di Semenanjung Malaya,
karena ayah Raja Asyem merupakan Sultan di sana.
Terlepas dari dugaan situasi kisruh ketika naiknya dia
menjadi sultan. Dalam babad sejarah Hikayat Aceh Sultan Alauddin dipuji sebagai
sultan yang baik dan saleh, masa pemerintahannya menjadi masa yang sejahtera
bagi rakyat kesultanan.[3] Menurut seorang pedagang Perancis yang berkunjung ke Aceh pada
tahun 1601– 1603 ia
mencatat bahwa ibu kota kesultanan adalah bandar yang sangat kosmopolit pada masanya,
dimana orang-orang dari berbagai kebangsaan berdiam di sana selama beberapa
bulan guna berdagang. Orang-orang dari Turki, Nagapatnam, Kalikut, Ceylon, Siam, Gujarat, Benggala dan berbagai tempat lainnya
berbaur dengan aman dan menjalankan perdagangan yang ramai. Mereka menjual
kain, kapas, berbagai jenis keramik, obat-obatan, rempah-rempah dan batu mulia.[4]
Hubungan
dengan negeri-negeri Melayu
Pembunuhan terhadap Raja Asyem telah membuat hubungan Aceh
dengan Kesultanan Johor di Semenanjung menjadi tidak harmonis. Beberapa
kesultanan yang direbut Aceh melalui ekspansi militer pada abad sebelumnya juga
mulai menggeliat hendak melawan Aceh. Kerajaan Aru memberontak di bawah
dukungan Johor. Dalam kronik sultan Alauddin Riayat Syah disebutkan bahwa
sultan telah memerintahkan orang-orang Aru untuk menyelesaikan sebuah kapal
untuknya, namun hal itu tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya titah sultan.
Menurut berita yang sampai kepada sultan, orang-orang Aru telah berkomplot
dengan Johor untuk melawan kekuasaan sultan atas wilayahnya. Johor dikabarkan
telah menawarkan diri menjadi pelindung Aru jika Aceh memerangi perlawanan
orang-orang Aru. Mengetahui hal ini, Alauddin segera menyiapkan armada perang
dalam rangka menghukum Aru. Armada yang kali ini dipimpin sendiri oleh sultan
berhasil menaklukan Aru dan mengusir sultan Johor dari sana. Dalam ekspedisi
itu seorang menantunya tewas dalam pertempuran di Aru. Setelah mengalahkan Aru,
armada sultan menyeberangi selat guna mengepung Johor. Kali ini armada itu
mengalami kegagalan. para prajurit Aceh yang kehilangan putra mahkota dalam
peperangan sebelumnya di Aru telah kehilangan moral bertempur mereka membuat
pengepungan ini berakhir sia-sia dan Alauddin akhirnya menyerah dari usaha
menghukum Johor lalu kembali ke Aceh.[5]
Kedatangan
Eropa
Kapal-kapal dagang Eropa dari Belanda, Inggris dan
kapal Perancis mulai berdatangan di wilayah itu
selama pemerintahan Sultan Alauddin ini. Hal ini menciptakan situasi baru di
kawasan sejak bangsa pelaut ini bersahabat dengan bangsa Portugis. Meskipun hubungan dengan Portugis
senantiasa menghadirkan rasa was-was bagi siapapun di kawasan itu. Pemimpin
armada Belanda Cornelis de Houtman tiba
di Aceh pada bulan Juni 1599. Komunikasi antara
Belanda dengan kesultanan pada awalnya berlangsung dengan baik dan ramah,
tetapi intrik Portugis memprovokasi Aceh menyerang kapal-kapal Belanda.
Serangan Aceh menewaskan De Houtman dan saudaranya Frederik de Houtman ditangkap
dan dipenjarakan. Pada bulan November 1600 dua
buah kapal Belanda yang lain di bawah pimpinan Van Caerden berlabuh di pantai
Aceh. Kedatangan kapal-kapal ini diterima dengan baik oleh sultan. Beberapa
tahanan Belanda segera melarikan diri ke kapal Van Caerden sehingga membuat
tentara Aceh melakukan penggeledahan atas kapal-kapal Belanda. Namun Van
Caerden menduga Aceh sedang merencanakan sesuatu yang buruk terhadap
kapal-kapal mereka, lalu mereka merampas banyak lada di pelabuhan dan segera
meninggalkan pelabuhan yang diikuti oleh tembakan yang dilepaskan oleh tentara
Aceh. Van Caerden berhasil melepaskan diri dan ia meninggalkan beberapa kapal
milik Aceh dan Portugis yang telah dibakar oleh orang-orangnya di pelabuhan.[6]
Insiden di pelabuhan dengan Belanda membuat Portugis
berkeinginan mendirikan sebuah benteng di muara Krueng Aceh. Menganggap telah bersahabat baik
dengan sultan, dengan penuh percaya diri mereka mengajukan permohonan itu.
Namun sultan mencurigai maksud Portugis itu dan menolaknya, membuat hubungan
antara Aceh dan Portugis menjadi dingin.[7] Pada tahun berikutnya 1601,
sebuah sengketa muncul. Sebuah kapal Portugis mengejar kapal Arab yang
membawa muatan kerajinan, kapal itu diserang dan muatannya dirampas lalu dibawa
ke Aceh. Kejadian ini membuat pertimbangan lain bagi Belanda, guna menjadikan
Portugis sebagai musuh utama mereka di perairan selat Malaka dan dibawa oleh
kapal Aceh. Bagi Aceh hal ini menjadi penilaian yang lain tentang hubungan
mereka dengan Belanda. Pada akhirnya Aceh lebih memilih berhubungan dengan
Belanda daripada dengan orang-orang Portugis. Melaksanakan misi perdamaian
dengan Belanda, Aceh mengirimkan dua orang utusan resmi ke Belanda. Salah
seorang dari utusan itu meninggal di Middelburg namun yang lainnya berhasil
melakukan kesepakatan dengan Pangeran Maurits dari Nassau Ketika
utusan ini kembali ke Aceh pada bulan Desember 1604,
ia membawa banyak persembahan dari Belanda untuk sultan. Sebelumnya pada
tahun 1602 beberapa kali kapal-kapal angkatan
laut Inggris dan Perancis mengunjungi Aceh. Armada laut Inggris ini suatu
ketika pernah bekerja sama dengan Belanda dan berhasil menangkap sebuah galias
besar milik Portugis. Ketika armada ini melaporkan penangkapan ini kepada
sultan, dia menyambutnya dengan gembira dan menyampaikan rasa terima kasihnya
kepada armada Inggris-Belanda.[8]
Akhir Pemerintahan
Sultan Alauddin
Masa pemerintahan Sultan Alauddin menandai awal
berlangsungnya era sentralisasi di negara Aceh. Sultan yang sejak hari-hari
pertama pemerintahannya telah berhasil menekan para pedagang elit dan para
bangsawan yang pada periode kesultanan sebelumnya telah memiliki pengaruh besar
secara politik di kesultanan. Para pedagang besar dan bangsawan ini banyak yang
dengan sengaja dibunuh pada tahun pertama Alauddin menduduki takhta guna
mencegah mereka mengacaukan dan merebut kekuasaan sultan. Pembersihan para
bangsawan ini didukung sepenuhnya oleh para pejabat birokrasi dan para hakim.[1]
Sultan Alauddin menegaskan simbol-simbol kekuasaan yang
ada pada dirinya, pada mahkotanya yang dibuat pada tahun 1601 sebagai
lambang kekuasaan dia menuliskan titah berbunyi:
“
|
Sultan Alauddin bin
Firman Syah, ia yang menempatkan iman kepada Allah, yang telah memilih dia
untuk meneruskan kerajaan, Allah memberinya kemuliaan-Nya untuk bertahan dan
melindungi semua pengikutnya.[9]
|
”
|
Pada penghujung pemerintahannya terjadi perbedaan pendapat
yang datang dari kalangan luar keluarga sultan. Alauddin akhirnya digulingkan
pada bulan April 1604 ketika dia sudah berusia lanjut.
Meskipun sebenarnya dia telah turun takhta sejak sakit-sakitan beberapa waktu sebelumnya.
Dia meninggal satu tahun kemudian dan digantikan oleh putranya yang kedua Sultan Muda.
Dalam melanjutkan suksesi ini dia dilaporkan juga mengunggulkan cucunya Iskandar Muda untuk
menggantikannya. Dia dilaporkan memiliki empat orang putra dan dua orang putri:[10]
· Maharaja
Diraja, meninggal sebelum ayahnya.
· Sultan Ali Riayat
Syah
· Sultan
Husain, penguasa Pidie
· Sultan
Abangta Merah Upah, meninggal sebelum ayahnya.
· Raja
Puteri (putri)
· Puteri Raja Inderabangsa (putri), menikah dengan Mansyur Syah, ibunda Iskandar Muda
· Puteri Raja Inderabangsa (putri), menikah dengan Mansyur Syah, ibunda Iskandar Muda
Referensi
1. LOMBARD, Denys. Kerajaan
Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakan Populer Gramedia, 2006. ISBN 979-9100-49-6
2. Djajadiningrat (1911), p.
162-8.
3. Iskandar (1958), p. 55.
4. Andaya (2010), p. 121.
5. Djajadiningrat (1911), p.
171.
6. Encyclopaedie (1917), p.
74.
7. Djajadiningrat (1911),
pp. 169-70.
8. Encyclopaedie (1917),
Vol. 1, p. 74-5.
9. Hadi (2004), pp. 53,
69-70.
10.Djajadidingrat (1911),
pp. 172-3.
Bacaan
Lanjutan
Djajadiningrat,
Raden Hoesein (1911) 'Critisch overzicht van de in Maleische werken vervatte
gegevens over de geschiedenis van het soeltanaat van Atjeh', Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 65, pp. 135–265.
Encyclopaedie
van Nederlandsch Indië, Vol. 1 (1917). 's Gravenhage &
Leiden: Nijhoff & Brill.
Hadi,
Amirul (2004) Islam and State in Sumatra: A Study of
Seventeenth-Century Aceh. Leiden: Brill.
·Iskandar,
Teuku (1958) De Hikajat Atjeh. 's Gravenhage: M. Nijhoff.
Comments
Post a Comment